Hidup adalah permainan, demikian kita sering diingatkan. Tetapi kita selalu salah sangka: kita pikir, tentang ‘hidup adalah permainan’, artinya kita bisa tidak terlalu serius menjalaninya. Padahal, tak ada satu pun permainan yang bisa dimenangkan dengan main-main, kan? Bahkan permainan paling mudah sekalipun, selalu menuntut keseriusan kita jika ingin memenangkannya.
Hidup adalah permainan, demikian kita sering diingatkan. Tetapi kita selalu salah sangka: kita pikir, tentang ‘hidup adalah permainan’, artinya kita bisa tidak terlalu serius menjalaninya. Padahal, tak ada satu pun permainan yang bisa dimenangkan dengan main-main, kan? Bahkan permainan paling mudah sekalipun, selalu menuntut keseriusan kita jika ingin memenangkannya.
Tahun 1996 saya berpindah ke konsol SEGA. Meski hanya sebentar sebab serangan PSOne begitu cepat, saya sempat memainkan beberapa game favorit saya di SEGA seperti Dr. Robotnik’s Mean Bean Machine, Sonic The Hedgehog Spinball, sampai Golden Axe. Di PSOne, tentu saja game favorit saya J-League Jikkyou Winning Eleven dan game-game lain dari Namco dan Bandai seperti Teken atau Mortal Combat yang semuanya berbahasa Jepang. Meski saya tidak mengerti bahasa Jepang, toh permainan memang tak perlu dimengerti secara utuh: yang penting kita bisa menikmatinya dan berbahagia—itu lebih dari cukup.
Memasuki era PlayStation 2, saya tidak terlalu banyak bermain video game. Saya hijrah ke Garut untuk menjalani ‘hari-hari tanpa video game’ di pesantren. Hanya sesekali saat pulang ke rumah orang tua saya di Bandung, bersama adik saya yang masih SD, saya memainkan beberapa game PS2 seperti Pro Evolution Soccer, Need for Speed, Final Fantasy, dan lainnya. Saat itu saya sudah kehilangan banyak kemampuan saya dalam bermain game dan lebih sering dikalahkan adik saya. Sejak itu saya jadi mengerti bahwa bermain game ternyata bukan hanya memerlukan keseriusan, tetapi juga latihan. Imajinasi, visi bermain, dan strategi, ternyata tidak cukup, ia harus didukung oleh skill yang dilatih serius melalui serangkaian kegagalan. Di atas semua itu, untuk menaklukkan sebuah ‘permainan’, tetap saja: kita harus berbahagia menikmatinya!
Di masa kuliah, saya lebih banyak memainkan game-game PC. Meski sesekali tetap memainkan game-game PS2 seperti God of War I-II dan lainnya. Yang jelas, intensitas saya dalam bermain video game berkurang drastis. Karena pemahaman dan fokus saya berubah, pengertian saya tentang video game juga berubah. Saya memerhatikan detil yang lain dari ‘dunia game’. Saya mulai menyadari bahwa game ternyata merupakan dunia yang benar-benar serius, lebih serius dari yang selama ini saya bayangkan ketika memainkannya—
Untuk menghasilkan sebuah video game yang dimainkan banyak orang di seluruh dunia, perusahaan video game seperti Sony secara serius menginvestasikan dana mereka hingga miliaran dollar. Zynga, perusahaan pembuat game online seperti FarmVille, CityVille dan game-game berbasis media sosial lainnya, saat ini sudah dimainkan oleh lebih dari 250 juta netters di seluruh dunia. Dari ladang, sapi, ayam, susu, dan properti-properti virtual yang kita mainkan di Facebook, misalnya, Zynga mampu membukukan laba perusahaan rata-rata sebesar 435-510 juta dollar setiap tahunnya. Dari perputaran mata uang virtual di Facebook yang kita mainkan, Zynga sudah memiliki nilai jual perusahaan lebih dari 1 miliar dollar dalam mata uang yang sesungguhnya!
Tak berhenti di situ, video game juga dibuat dengan perhatian dan pekerjaan yang benar-benar serius. Jika kita melihat siapa saja yang terlibat dalam industri game—dari perancangan, pembuatan, distribusi, hingga penjualan—kita akan melihat orang-orang yang sangat serius bekerja di bidangnya. Dari mulai ekonom, ahli marketing, desainer perangkat lunak, animator, programmer, dan lainnya, yang semuanya harus dilatarbelakangi oleh keahlian dan pengalaman yang ‘sangat serius’. Jika mereka mendapatkan keahlian itu dari dunia pendidikan, tentu mereka sekolah dengan serius dan sungguh-sungguh, kan?
Kini, kita melihat bagaimana video game memerlukan riset dan pengembangan teknologi yang teramat serius. Perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di industri game seperti Sony, Microsoft, Nintendo, dan lainnya rela merogoh kocek miliaran dollar untuk mengembangkan bisnis ini. Kehadiran PS3, Xbox, Nintendo Wii, dan lainnya yang menawarkan dunia artifisial yang bukan hanya memanjakan visual tetapi sekaligus kinestetik, juga merupakan bukti bahwa ‘permainan’ ternyata bukanlah sesuatu yang benar-benar ‘main-main’.
Thus, setelah memainkan God of War III, Bettlefield III, dan Assassin’s Cereed III yang bukan hanya memiliki teknologi visual yang canggih tetapi sekaligus didukung oleh riset sejarah dan ilmu pengetahuan yang serius, saya jadi benar-benar yakin bahwa permainan bukanlah hal yang bisa diselesaikan dengan main-main. Ia serius, bahkan sangat serius!
Hal-hal yang saya sebutkan tadi baru seputar permainan dalam bentuk ‘video game’, bagaimana dengan ‘permainan’ dalam bentuk lainnya? Olahraga, misalnya? Ah, ternyata Tuhan tak main-main ketika mengatakan, “...Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain permainan dan kesenangan” (QS 6:32).
Demikianlah, tampaknya kita mesti memiliki kacamata baru dalam memandang hidup yang adalah permainan itu: bukan berarti kita harus main-main menjalaninya, tetapi kita harus senang dan bahagia menjalaninya. Seperti bermain video game, tentang hidup di dunia, bermainlah dengan serius: dengan imajinasi, visi bermain, startegi, skill, dan ketekunan. Sisanya, berbahagialah!
KARYA :
FAHD DJIBRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar