Ada
alasan pemerintah menetapkan 22 Oktober menjadi Hari Santri Nasional. Presiden
RI Joko Widodo memaparkan besarnya peran santri bagi bangsa. Hal
tersebut merujuk pada peristiwa bersejarah yang membawa bangsa Indoensia meraih
kemerdekaan dari para penjajah.
Resolusi
jihad yang dicetuskan oleh Pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober
tahun 1945 di Surabaya untuk mencegah kembalinya tentara kolonial Belanda yang
mengatasnamakan NICA. KH. Hasyim Asy’ari sebagai ulama pendiri NU menyerukan
jihad dengan mengatakan bahwa“Membela tanah air dari penjajah hukumnya
fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu“.
Seruan
Jihad yang dikobarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari itu membakar semangat para santri
Arek-arek Surabaya untuk menyerang markas Brigade 49 Mahratta pimpinan Brigadir
Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Jenderal Mallaby pun tewas Para tokoh-tokoh besar yang punya andil itulah
yang membuat pemerintah menilai hari santri penting ditetapkan.
Jokowi mengatakan mengingat peran
historis para santri dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
seperti K.H. Hasyim As’yari dari Nahdlatul Ulama, K.H. Ahmmad Dahlan dari
Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al-Irsyad dan Mas
Abdul Rahman dari Matlaul Anwar serta mengingat pula 17 nama-nama perwira
Pembela Tanah Air (Peta) yang berasal dari kalangan santri, pemerintah
menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Sejarah mencatat, para santri
telah mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan
mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut. Para santri dengan caranya
masing-masing bergabung dengan seluruh elemen bangsa, melawan penjajah,
menyusun kekuatan di daerah-daerah terpencil, mengatur strategi, dan
mengajarkan kesadaran tentang arti kemerdekaan
Jokowi yakin, penetapan Hari
Santri Nasional itu, tidak akan menimbulkan sekat-sekat sosial atau memicu
polarisasi antara santri dengan nonsantri. Justru sebaliknya, akan memperkuat
semangat kebangsaan, mempertebal rasa cinta tanah air, memperkokoh integrasi
bangsa, serta memperkuat tali persaudaraan.
"Penetapan hari santri
nasional dilakukan agar kita selalu ingat untuk meneladani semangat jihad
ke-Indonesiaan para pendahulu kita, semangat kebangsaan, semangat cinta tanah
air, semangat rela berkorban untuk bangsa dan negara," kata Jokowi.
Dengan mewarisi semangat itulah,
kata Jokowi, para santri masa kini dan masa depan, baik yang di pesantren atau
di luar pesantren dapat memperkuat jiwa religius keislaman sekaligus jiwa
nasionalisme kebangsaan. Dengan mewarisi semangat itu, para santri juga akan
ingat memperjuangkan kesejahteraan, memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia dan meningkatkan ilmu pengetahuan/teknologi demi kemajuan bangsa.
"Semangat ini adalah
semangat menyatukan dalam keberagaman, semangat menjadi satu untuk Indonesia.
Saya percaya dalam keragaman kita sebagai bangsa, baik keragaman suku,
keragaman agama, maupun keragaman budaya melekat nilai-nilai untuk saling
menghargai, saling menjaga toleransi, dan saling menguatkan tali persaudaraan
antaranak bangsa," katanya.
Namun Muhammadiyah bersikap
berbeda dalam menanggapi Hari Santri tersebut.
Ketua Umum PP
Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyatakan Muhammadiyah keberatan dengan penetapan
22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Muhammadiyah menilai penetapan Hari
Santri Nasional dapat mengganggu ukhuwah umat Islam lewat polarisasi
santri-nonsantri yang selama ini mulai mencair.
"Muhammadiyah secara resmi berkeberatan dengan Hari Santri," kata
Haedar Nashir
Menurut Haedar, Muhammadiyah tidak ingin umat Islam makin terpolarisasi dalam
kategorisasi santri dan nonsantri. Hari Santri akan menguatkan kesan eksklusif
di tubuh umat dan bangsa. Padahal, selama ini santri-nonsantri makin mencair
dan mengarah konvergensi. "Untuk apa membuat seremonial umat yang justru
membuat kita terbelah," ujarnya.
Apalagi, lanjut
Haedar, hari yang dipilih sangat ekskusif dan milik satu kelompok Islam. Hal
itu kian menambah kesenjangan yang berpotensi mengganggu ukhuwah umat Islam.
Haedar mengakuti pemerintah dan kelompok Islam bisa saja memaksakan diri
menetapkan Hari Santri 22 Oktober karena memang memiliki otoritas. Namun, ia
berharap pemerintah arif dalam mengayomi seluruh komponen bangsa.
Haedar menilai umat
Islam masih memiliki banyak urusan strategis yang harus dipecahkan
bersama. "Hari besar Islam penting, tapi jauh lebih penting untuk
mengagendakan pemecahan bersama sejumlah persoalan besar, seperti kemiskinan
umat, ketertinggalan iptek, dan sebagainya. Energi jangan dihabiskan untuk
hal-hal yang kontroversial dan kontraproduktif," kata Haedar menegaskan. (masaqin)